Langsung ke konten utama

Keajaiban Khidmah Oleh: Bahra Ramadhani Kaligar | 𝐏𝐄𝐌𝐄𝐍𝐀𝐍𝐆 𝐋𝐎𝐌𝐁𝐀 𝐊𝐀𝐑𝐘𝐀 𝐓𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐇𝐔𝐓 𝐈𝐍𝐃𝐎𝐍𝐄𝐒𝐈𝐀 𝐊𝐄 𝟕𝟗 𝐓𝐀𝐇𝐔𝐍

Tahun itu tahun yang begitu melelahkan. Pada suatu malam aku bersama sahabatku merebahkan badan termenung menatap langit rumah kiaiku, setelah berdua merapihkan dapur para ustadz yang berada di rumah kiaiku itu.

 “Setelah ini, ente mau kuliah di mana?” tanya Lathif sahabatku sambil mengelus dahinya yang berkeringat kelelahan.

Ane belum tahu Thif, sekarang mah ane fokus ke pesentren dulu aja.”  Jawabku sambil mencubit dagu.

Lathif yang berada di sampingku diam-diam tertidur lelah setelah dia bertanya kepadaku mengenai kuliah. Lathif... Lathif... dasar nte ya! kebiasaan banget, lagi ngobrol tiba-tiba tidur, kataku sedikit kesal.

Hari berikutnya aku bersama teman-teman pengabdianku gotong royong merapihkan dan mendekor panggung untuk suatu acara besar di pesantrenku. Ketika kami sedang asyik mendekor panggung, salah satu temanku memberitahu diriku dan temanku Ucup bahwa Abi -sebutan para santri kepada Kiai- memanggil kami berdua.

“Gar, Abi manggil ente tuh di saung!” kata temanku berlari kecil menghampiri diriku kemudian Ucup.

Dengan segera kami berdua berjalan ke saung menghampiri Abi.

“Assalamu’alaikum. Iya Abi ada apa?” tanyaku kepada kiaiku.

“Wa’alaikumussalam. A Kaligar sama A Ucup, kalian coba daftar ke kampus Kuliah Dakwah Islamiah ya, yang ada di Libya. Sekarang lagi buka pendaftarannya.” kata Abi dengan wajah ceria berharap kami berdua mencoba untuk mendaftar.

“Iya Abi, insyaallah kami berdua akan mencoba daftar” jawabku cepat tanpa berpikir-pikir dulu, karena ini perintah kiai, meskipun temanku Ucup ragu bahwa orang tuanya akan mengizinkan dirinya atau tidak.  

“Ya udah lanjutkan dekor panggungnya, yang lain udah keliatan cape tuh” kata Abi dengan nada semangat, setelah mendengarkan jawaban dari kami berdua, aku dan Ucup.

Dengan penuh semangat aku dan Ucup kembali mendekor panggung, juga menyemangati  teman-temanku yang lain.

 Program mengabdi wajib  di pesantrenku oleh aku dan teman-teman disambut gembira, meskipun sebagian dengan agak terpaksa menjalaninya. Bagiku ini adalah momen untuk membalas jasa dan budi kepada pesantren setelah banyak sekali hidangan-hidangan lezat yang telah pesantren berikan kepadaku berupa ilmu, meskipun dengan penuh rasa sadar bahwa balasanku itu tidak akan bisa menyamai jasa-jasa pesantren selama aku nyantri kepadanya. Sungguh tak terhitung jasa-jasanya.

Ucup, temanku, setelah beberapa hari kami dimintai untuk mendaftar oleh sang kiai, dengan wajah cemberut menghampiri diriku.

“Gar, barusan ane udah bilang ke orang tua ane tentang pendaftaran ke kampus yang ada di Libya itu, kata orang tua ane mereka belum siap buat jauh-jauh sama ane, kebetulan ane juga kan anak laki satu-satunya, gitu Gar. Selain itu orang tua ane juga bilang kalo Libya itu negara yang suka konflik. Jadi ya, maaf ane belum bisa nemenin ente daftar” kata Ucup marasa bersalah kepadaku.

“Oh ya udah Cup, di sisi lain memang kita juga harus munuruti kata orang tua kita juga. Ya udah nanti bilang aja ke Abi kalau ente gk bisa daftar, insyaallah abi juga bakal memahami” kataku kepada Ucup sedikit disayangkan dirinya tidak ikut daftar.

Berbulan-bulan berlalu sampai tiba akhirnya aku menerima pesan di email bahwa diriku diterima di kampus Kuliah Dakwah Islamiah, Tripoli Libya. Betapa penantian yang panjang itu aku terima dengan lapang dada dan penuh yakin bahwa suatu saat akan ada jawaban yang membahagiakan. Alhamdulillah ya Allah, kataku dalam hati.

“Mah pak, alhamdulillah Kaligar diterima di kampus Kuliah Dakwah Islamiah, Libya.” kataku ketika video call bersama orang tuaku.

“Alhamdulillah atuh a Kaligar, mamah dan bapak juga ikut bahagia” kata orang tuaku terharu bahagia.

Setelah masa pengabdian aku pun pulang ke rumah, untuk mempersiapkan keberangkatanku ke Negeri Sejuta Penghafal Al-Quran, Libya. Setelah meminta do’a dan berpamitan kepada Abi dan Ibu -sebutan santri kepada Nyai-  aku dengan jiwa yang berat mengangkat kakiku dari tanah pesantren bersama keluarga kecilku.

Setelah bebepa hari mempersiapkan bekal-bekal keberangkatan, tiba saatnya aku meninggalkan rumah dan keluargaku. Keluargaku berkumpul di rumahku. Terlihat di raut wajah mereka rasa berat untuk kesekian kalinya ditinggal oleh diriku merantau. Mata yang berkaca-kaca menghiasi wajah keluargaku, aku tidak tahan melihat wajah mereka.

“A Kaligar, hati-hati ya nanti di perjalanan, yang semangat belajarnya!” kata ibuku sambil memasukkan makanan ke dalam tasku dengan mata yang berderai, berat untuk melepaskan anaknya.

“Iya mah, insyaallah aa akan berusaha untuk itu.” kataku menahan derai air mataku menetes.

Tiba saatnya aku berpamitan kepada keluargaku. Kemudian menaiki mobil yang sudah menunggu untuk mengantarkanku ke hotel tempat nanti aku dan teman-temanku yang lain berkumpul dan berangkat bersama. Di hotel itu kami yang terverifikasi lulus berkumpul dan saling berkenalan. Tak kenal maka tak sayang, pepatah mengingatkan.

“Salam kenal, nama ane Kaligar” aku memberanikan memperkenalkan diriku kepada teman baruku ya sekamar di hotel itu.

“Oh Kaligar, nama ane Abel, salam kenal juga” sahut teman baruku, menatap wajahku.

Masih banyak teman-temanku yang lain selain Abel yang berjumlah hampir 30 orang.



Keesokan harinya aku dan Abel, setelah Isya berangkat ke bandara untuk transit di Turki kemudian terbang ke Libya. Di bandara, Rafi teman baruku yang lain telah menunggu kami berdua, yang secara kebetulan kami bertiga dari 30 orang yang lain mendapatkan diri kami berangkat lebih awal. Mungkin karena menyesuaikan kuota penumpang pesawat.

Kami pun terbang ke Turki untuk transit dan menginap di sana sehari lebih. Waktu seharian itu kami berjalan-jalan ke tempat bersejarah di Turki, salah satunya Hagia Sophia. Sungguh diriku tak menyangka bahwa aku seorang bocah desa bisa pergi ke tempat bersejarah seperti itu. Dalam sejarah keluarga kecilku, mungkin aku adalah orang pertama yang berangkat ke luar negeri.

Alhamdulillah yaa Rab, gumam hatiku ketika berjalan di dekat halaman masjid Hagia Sophia.

Setelah seharian kami berjalan mengunjungi tempat bersejarah di Turki, keesokan harinya aku bersama teman-teman yang lain akhirnya berangkat menuju tempat di mana kami akan menuntut ilmu, menemui keluarga baru, mendapatkan pengalaman berharga dan meraih cita-cita.

Pesawat yang bertuliskan kata Arab itu sudah terlihat oleh kami di ruang tunggu sebelum keberangkatan. Terik matahahari sore hari memantulkan cahaya lewat kaca yang berjejer sepanjang ruang tunggu.

Aku dan teman-teman berjalan menuju pesawat itu, kemudian bertemu dengan pramugara berwajah Arab, Libya. Kemudian aku manaruh tasku di kabin pesawat, dan mendudukkan diriku di kursi.

“Aduh, kok layarnya gak bisa nyala ya?” kataku kepada Azmi yang berada duduk di sampingku.

“Iya ya, kok gak nyala, ya udah lah Gar kita tidur aja lah” jawab temanku tidak begitu peduli.

Dengan sedikit kesal aku pun menerima jawaban itu. Ya udah lah, tapi apakah ini merepresentasikan keadaan Libya? Kupasrahkan saja diriku.

Setelah beberapa jam berlalu tiba saatnya pesawat yang aku naiki, hampir mendarat di tanah negeri Libya. Meskipun pesawat itu terasa bergoyang-goyang sebelum pendaratan, dan membuat diriku cemas karena kukira akan terjatuh. Aduh apa lagi ini ya Allah.

Pendaratan pun aman, dan kami memasuki bandara. Setelah beberapa saat kami pun dijemput oleh beberapa orang, kemudian memasukkan semua barang-barang kami ke dalam mobil, dan akhirnya berjalan menuju kampus kami. Dengan badan yang terletih-letih aku dan teman-temanku menyusuri jalanan Libya, tepatnya di ibu kotanya, yaitu Tripoli.


Pada malam yang gelap gulita, ditambah keadaan kampus yang gelap karena katanya memang sering mati lampu, aku dan teman-temanku sampai kampus, kemudian disambut oleh beberapa orang mahasiswa lama. Masyaallah, belum kenal tapi kok, abang-abang yang menyambutku ini seakan-akan udah kenal lama aja, kalau gini mah pepatah itu tidak berlaku dong di abang-abang ini, karena belum kenal aja udah sayang ke kami, mahasiswa baru yang baru datang ini. Kata hatiku terkesan kepada mereka.

Ahlan-ahlan, ayo kita kumpul dulu, untuk didata, kemudian makan” kata salah satu mahasiswa lama, kepada kami.

“Iya ustadz. Na’am stadz. Oke bang siap” sahut teman-temanku, menjawab seruan itu.

Selesai sudah pendataan itu, dan soal makanan yang baru saja kami santap, jangan tanya bagaimana rasanya. Itu adalah salah satu makanan khas Libya yaitu kuskusi. Bagi sebagian orang kuskusi makanan yang enak. Bagi sebagian orang yang lain, butuh waktu untuk menyatakan bahwa kuskusi makanan yang enak.

Hari pun berjalan, kami pun para mahasiswa baru menikmati perjalanan itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, telah berlalu. Banyak sekali hal-hal baru yang aku temukan. Salah satu culture shock menurutku adalah mimik wajah manusia Libya, atau bisa dikatakan manusia Arab adalah yang seakan-akan marah ketika ngobrol biasa. Ya, itu tentu tidak semua, tapi rata-rata memang begitu.

Hal-hal negatif dalam perjalananku di Libya, menurutku sedikit dibanding hal-hal positif. Meskipun kebanyakan manusia lebih menyibukkan diri kepada hal-hal negatif yang sedikit itu. Tapi itu tidak masalah, karena memang telah Allah nyatakan dalam Al-Qur’an bahwa wa qaliilun min ‘ibaadiyasysyakuur yang terjemahannya “sedikit sekali di antara hamba-hambaku yang bersyukur”. Aku hanya berusaha mendidik diriku agar tergolong di antara hamba-hamba yang bersyukur itu

Di antara nikmat-nikmat itu adalah bahwa kampusku itu menyediakan beasiswa bagi seluruh mahasiswa-mahasiswanya yang berasal dari berbagai negeri. Mulai dari uang jajan, makan sehari-hari, buku, biaya kuliah, asrama dan tiket pulang setelah lulus.

Kata dosen-dosenku bahwa perpustakaan yang berada di kampusku adalah salah satu perpustakaan terlengkap di Libya, mungkin maksudnya di Tripoli. Itulah salah satu mutiara yang menurutku mutiara termahal di kampusku. Bagaimana tidak? Aku atau siapa pun itu yang ingin mengunjungi Imam Al-Bukhari, bukankah kita bisa menyapanya melalui buku yang telah ditulisnya Shahiihul Bukhoori, berdiskusi mengenai pendapat-pendapatnya, menanyakan bagaimana perjuangannya mencari kemudian menyusun dan menjaga hadits-hadits yang benar?

Pohon-pohon kurma yang berjejer sepanjang mata memandang pun ikut membuatku terpesona akan kampusku, bagaimana tidak, setiap musim kuma, kami para mahasiswa bisa kapan saja memetik buah kurma tersebut.

Aku pun termenung, betapa tak terhingga nikmat-nikmat dari Nya. Apa sebabnya? Mungkinkah sebabnya karena aku mengabdi dengan sungguh-sungguh? Ya, aku yakin karena pengabdianku selama di pesantren. Inilah keajaiban Khidmah yang aku rasakan. Aku bisa berkuliah di kampus Kuliah Dakwah Islamiah, Tripoli Libya.

 

 


BIODATA PENULIS


Nama: Bahra Ramadhani Kaligar

TTL : Garut, 10 Desember 2001

IG : bahrk10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDAFTARAN | Program Beasiswa Islamic Call College, Libya | S1, S2, S3 | 2023

Assalamualaikum sobat Penutut Ilmu, gimana Kabarnya kalian, Semoga Selalu dalam Keadaan Sehat wal 'afiat dan Selalu Dalam Lindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala Amin ya rabb Al- amin.  Alhamdulillah segala puji bagi Allah, setelah menunggu kurang lebih 3 - 6 Bulan Akhirnya atas izin Allah SWT. Pendaftaran Program Beasiswa Islamic Call College, Libya  resmi dibuka. Nah, bagi sobat Penutut Ilmu yang berminat untuk Melanjutkan Studi S1, S2, S3-nya di Negara yang dijuluki seribu Huffadz ini, bisa nih untuk Mendaftar kan diri. Berikut  Syarat - syarat yang harus dipenuhi  : PROGRAM SARJANA S1 PERSYARATAN  1. Sehat Jasmani dan Rohani 2. Usia 17 sampai 23 Tahun. 3. Melampirkan Berkas- berkas Yang Dibutuhkan 4. Dinyatakan lulus tes Penerimaan   5. Telah Lulus dari Jenjang SMA\SEDERAJAT Dengan nilai Minimal JAYYID JIDDAN  6. Mengisi formulir pendaftaran 7. Terakhir Pengumpulan Berkas untuk jurusan umum 1 April 2023  6. Terakhir Pengumpulan Berkas untuk j...

Materi Marhala Dasar, Belajar Bahasa Arab KKMI Libya Via WhatsApp

الكَلَأمُ (    Al-kalam ) A.     تَعْرِيْفُ الكَلَامِ   ( Pengertian Kalam )             الكَلَام ( Kalam ) berasal dari Bahasa Arab, yaitu كَلَّمَ - يُكَلِّمُ   yang artinya berbicara. Sedangkan, kata الكَلَام artinya perkataan atau pembicaraan. Definisi Kalam menurut Ahli Nahwu النَحْوُ     adalah : الكَلاَمُ هُوَ اللَّفْـــظُ المُرَكَبُ المُفِيْدُ بِالوَضْـعِ Kalam adalah suatu perkataan yang tersusun yang memberikan faedah atau makna yang lengkap. Jadi, Kalam dalam Bahasa Arab   memiliki 4 syarat, yaitu : 1-       اللّفْظُ ( Al-lafzu ) yaitu suara ucapan kalimat atau perkataan. Contohnya : المَسْجِدُ   ( Masjid ) كِتَابُ   ( Kitab ) كُرَّاسَةٌ ( Buku tulis ) قَلَمٌ   ( Pena ) dan lain sebagainya. 2-       الْمُرَكَبُ ( Al-Murakabu ) yaitu yang tersusun, kalam yang kita ucapkan mesti t...

Biografi Ulama : Imam Al-Buwaithi, sebuah Keteguhan dan Kesabaran

Masjid kulliyah dakwah, Tripoli Libya. Biografi Ulama   Imam Al-Buwaithi, sebuah Keteguhan dan Kesabaran. Oleh: adi rahman hakim (Mahasiswa islamic call college, tripoli, libya)   Nama lengkapnya Yusuf bin Yahya bin Ya’qub Al-Buwaithi. Al-Buwaithi dinisbatkan kepada sebuah daerah di Mesir yang bernama Buwaith. Ketika Imam Syafi’i rihlah ke Mesir, Al-Buwaithi selalu membersamainya hingga ia mampu mendulang pundi-pundi ilmu yang begitu banyak dari Sang Imam.   Al-Buwaithi memiliki kepribadian yang luhur, ia adalah seorang yang zuhud dan wara’, ia juga seorang mujtahid. Banyak dari penuntut ilmu berguru padanya bahkan dalam sebuah riwayat dikatakan muridnya mencapai jumlah yang fantastis yaitu sekitar 10.000 penuntut ilmu yang berasal dari dalam Mesir maupun luar. Al-Buwaithi juga termasuk penyebar Madzhab Syafi’i di Mesir. Nama Al-Buwaithi sering disebut didalam setiap kitab Madzhab Syafi’i. Selain dianggap sebagai seorang mujtahid dalam madzhab, ia juga te...