Harga
Sebuah Rasa
Oleh:
Inna A’thoina
Braaaaaakkkk
.. (bunyi pintu ditutup dengan kencangnya).
Sayup-sayup
kudengar suara gaduh, suara seorang wanita yang menangis tergugu dan suara
seorang pria yang entah mencerca atau mengomel
sembarang.
Kubuka
perlahan mataku, buram… terdengar suara kokok ayam jantan, dan kulihat jam
dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
Suara
gaduh perlahan merendah, senyap, dan kembali sunyi,
Kutarik
kembali selimut hijau bergambar daun bunga matahari yang beberapa menit lalu
kusibak, mataku kembali terpejam, lelap.
v
Pagi
ini pagi yang indah, dengan sejuta harap dan semangat baru kusambut awal pagi
dengan bergegas mengingatNya, mengadukan semua keluh dan harap kehadiratNya,
lantas kuatur posisi rapih peraduanku, menghirup udara segar pagi dari jendela
kotak kamar dan seperti yang biasa kulakukan diawal pagi, menyapa tetangga
sebelah yang hampir setiap subuh menjelang selalu bertengger di teras mini rumahnya memandikan bunga-bunga indah
kesayangannya.
Hei,
tetapi pagi ini tak kulihat ia disana.. ibu yang bertubuh gempal berkulit putih
dengan baju daster yang biasa ia kenakan tak tampak di teras mini rumahnya.
Mungkin pagi ini ia lupa memandikan bunga-bunga yang mulai tumbuh kuncupnya
atau ia terlalu sibuk mengurus dua anak laki-laki kecilnya, pikirku.
jam
tangan menunjukkan pukul 06.00 pagi. Kusapa mama lantas kutanyakan tetangga
sebelah yang tak terlihat sejak subuh tadi.
“
Ibu Aminah pagi ini tidak ada dirumahnya ya ma?, atau sibuk mengurus Ical dan
Ian, anaknya?.”
“
Pagi-pagi sekali beliau datang kemari, menggendong anaknya yang masih tertidur
pulas, membawa tas besar dan berpamitan, ia menitipkan salam untukmu.” Jawab
ibu seadanya.
“
Berpamitan hendak kemana bu Aminah ma?.” Tanyaku antusias
“
Malam tadi ada keributan kecil dengan keluarganya, mungkin ia pergi barang
sebentar untuk menenangkan diri” jelas mama
“
Ohh, begitu ya ma..” komentarku singkat, tak ingin tahu keributan apa yang
dimaksud ibuku, karena sudah dapat ditebak urusan rumahtangga memang seringkali
berakhir dengan tangisan seorang istri atau terbangunnya seorang anak dan
menerima kenyataan bahwa ibu atau ayah mereka tak lagi berkumpul bersama.
Kembali
kulihat jam tangan, menunjukkan pukul 07.30, setengah jam lagi aku harus sudah
sampai di tempat acara, hari ini ada pelatihan umum yang di selenggarakan oleh
lembaga sosial untuk para relawan, yang bergerak di bidang kesehatan dan
masyarakat umum.
Ahh,
masih ada beberapa menit sebelum menuju tempat acara, lantas kugunakan waktu
untuk sekadar melihat berita apa saja hari ini. Mulai memegang remote TV dan
mulai mencari-cari channel yang menunjukkan berita pagi ini. 3detik, 5 detik,
sekilas-sekilas, masih mencari acara yang tepat untuk di simak, lima menit
berlalu, sepuluh menit, dan alhasil aku malah bosan mendengar kabar pagi ini.
Semua berbicara tentang kehidupan para Selebritas muda tanah air, mulai dari
potongan rambut, gaya berpakaian sampai hiasan-hiasan yang mereka pakai. Mulai
dari putus-nyambung, pernikahan mewah sampai perceraian yang terkesan senyum
simpul. Yah, perceraian yang seharusnya menimbulkan penyesalan dan rasa
pahittetapi menjadi sesuatu yang lumrah dipandang mata, yang lumrah di dengar
telinga.
Berita
yang disajikan pagi ini pun rata-rata bertajuk kekerasan, dari mulai penyiksaan
majikan terhadap pembantunya, anak memukul ibunya, sampai suami menyiksa
istrinya.
Aku
jadi teringat tetangga sebelah beranak dua yang setiap pagi memulai
aktifitasnya dengan bunga-bunga kesayangannya. Bu Aminah.
Apa
yang telah suami nya perbuat sampai tangisannya begitu menyayat, tergugu. Apa
suaminya memukulnya?,atau ada sesuatu yang ia kecewakan atas suaminya?, karena apa?..
ahh, sudahlah (menepis semua pikiran-pikiran buruk yang sedaritadi memenuhi
kepala).
Baiklah,
sudah saatnya tuk bergegas berangkat menuju tempat pelatihan hari ini. Setelah
berpamitan dengan orang-orang rumah lantas menuju halte terdekat dan mulai perjalanan
singkat ke tempat tujuan.
v
“
Akhirnya sampai juga.” (bernafas lega)
Kuedarkan
pandangan melihat keadaan sekitar, rupanya disini sudah ramai meskipun acara
baru akan dimulai pukul 09.00 sekitar 15 menit lagi.
Kulangkahkan
kaki menuju lapangan luas yang disulap menjadi aula besar dan nyaman
dihadapanku, Kusapa para peserta lain yang hadir.
Beberapa
menit kemudian acara dimulai.
Dibuka
dengan tilawah dan sambutan, kemudian acara utama yakni pelatihan tentang cara
berinteraksi sosial.
Dua
jam berlalu, acara berjalan dengan ramainya. Para peserta antusias menyimak
dengan seksama tekadang serius mendengarkan terkadang tawa memenuhi ruangan,
terkadang terdengar sahutan menaggapi, terkadang diam mengikuti pertanda setuju
dengan Pemateri.
Maka
tibalah waktu istirahat bagi para peserta.
v
Ditengah
waktu istirahat di ruangan besar berukuran lapangan bola yang luas Pemateri
mengangkat suara. “siapa yang ingin membantu saya maju ke depan?,ibu-ibu atau
mbak-mbak nya?,mari silahkan bagi yang berkenan.”
Lantas
seorang ibu muda berparas ayu yang bila dikira-kira umurnya sekitar 30-an
dengan sukarela maju ke depan, menyita perhatian sebagian besar peserta lain
yang sedang meregangkan badan karena terlalu lama duduk menyimak serius.
“
Bisakah tolong anda ambilkan spidol disana, dan tuliskan 10 nama orang-orang
terdekat anda, kerabat, keluarga, sanak, saudara atau orang terkasih anda” Pemateri angkat suara.
Kemudian
ibu muda itu menuliskan urutan 1 sampai 10 nama diatas papan putih besar
dihadapan kami, mungkin itu nama orang-orang terdekatnya.
“
Baiklah, saya tidak tahu siapa saja orang-orang yang anda tulis namanya disana,
tapi sekarang cobalah coret 1 nama yang anda kira nama itu tidak berpengaruh
penting dalam hidup anda” Pemateri menginstruksikan.
Lantas
ibu muda itu mencoret 1 nama diantara 10 nama-nama disana.
Lalu
Pemateri menginstruksikannya kembali untuk mencoret satu persatu orang-orang
yang namanya tertulis disana sampai tersisa 3 nama teratas.
Aku
mulai antusias memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh ibu muda itu
selanjutnya, dan apalagi yang di instruksikan oleh Pemateri dengan nama-nama
tersebut. Untuk apa?. Sejenak kuedarkan pandangan pada sekitar ternyata hampir
seluruh peserta memperhatikan apa yang disampaikan oleh Pemateri.
“
Baiklah, ibu apakah saya boleh tahu siapakah nama tiga orang yang anda tulis
itu?.” Tanya Pemateri.
Ibu
muda itu menjawab “yang teratas adalah nama anak saya, yang kedua nama suami
saya dan ketiga nama orangtua saya”
“
Saya menyimpulkan bahwa nama-nama yang anda sisakan adalah nama orang yang
paling berharga dalam hidup anda, yang anda tidak ingin kehilangan mereka.
Sekarang bisakah anda coret satu nama yang anda kira ia berharga namuntidak
berarti penting dalam hidup anda”
Aku
dan peserta lain meperhatikan penuh nama siapa kira-kira yang akan dicoret oleh
ibu muda tersebut.
Dan
ternyata.. ia mencoret nama orangtuanya.
Peserta
yang lain mulai riuh rendah.
Aku
masih meperhatikan dengan seksama.
“
Tinggal dua nama yang anda sisakan, yang berarti dua nama itu adalah
orang-orang yang sangat anda butuhkan keberadaannya, tapi cobalah anda sisakan
satu nama saja diatas papan putih ini, hanya satu nama” seru Pemateri.
Peserta
yang lain mulai harap-harap cemas bagaimana ibu muda itu akan memilih diantara
nama orang yang dikasihinya. Peserta disebelahku menatap ibu muda itu dengan
tatapan berkaca-kaca menunggu nama siapa selanjutnya yang akan dicoret dari
nama orang terkasihnya.
tetapi,
tanpa ragu ibu muda itu mencoret satu nama diatasnya. Nama anaknya.
Peserta
yang lain mulai bertanya-tanya termasuk aku, mengapa yang ia sisakan nama
suaminya?.
Pemateri
tersenyum simpul, Lantas berkata seperti tahu apa yang peserta lain pikirkan
“apakah dibenak anda semua mempunyai pertanyaan “ Mengapa?”, bahkan saya pun
tak tahu mengapa ibu ini memilih satu nama tersebut. Silahkan anda bisa
menjelaskan mengapa anda pikir nama yang tidak anda coret itu begitu berharga
dalam hidup anda” bertanya pada ibu muda
yang tatapannya begitu meyakinkan.
Lantas
ibu muda itu mulai berkata…
“ Orangtua adalah orang yang saya sayangi,
saya kasihi, bahkan kasihnya tak pernah dapat saya balas, kasih sepanjang masa
adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kasih sayang orangtua,
begitu tulus tanpa pamrih. Cintanya yang begitu besar merawat saya dari buaian
hingga tumbuh dewasa, dan saat saya dewasa itulah berarti berpisah dengan
orangtua, saya hidup mandiri lepas dari asuhan orangtua dan hidup dengan diri
saya sendiri.
Dan
anak-anak yang saya lahirkan dengan susah payah sampai bertaruh nyawa dengan
hidup mereka, lantas saya rawat sejak ia bayi hingga tumbuh besar. nantinya
akan meninggalkan saya. Ia akan hidup mandiri dengan dirinya sendiri, ia akan
punya keluarga baru dan akan disibukkan dengan keluarga barunya.
Sedangkan
seorang suami, adalah pendamping hidup saya. Ia tadinya memang bukan
siapa-siapa tapi setelah menjadi suami ia ada disaat suka maupun duka, ketika
nantinya anak-anak meninggalkansaya suami tetap berdiri setia menemani, Ada di
saat muda dan Mendampingi di masa tua. Hanya akan terpisah oleh satu sebab,
kematian. Dan begitulah seorang suami menjadi bergitu berharga bagi saya,
Terimakasih.
“
Baik, terimakasih ibu telah bergabung disini dan berbagi (Pemateri berkata
sambil menyalami ibu muda)”
“
Iya, terimakasih kembali” jawabnya.
Aku
menatap ibu muda berwajah tulus itu hingga kata-kata pemateri selanjutnya tak
kudengar. Sibuk dengar pikiran-pikiran yang berkecamuk sedaritadi.
Hidup
memang tentang seberapa besar kita menghargai orang lain, seberapa besar
menjadikan orang lain berharga dimata kita, karena rasa tulus dan sepenuh hati
ada pada setiap diri manusia. Ia tak tampak dipandang mata tapi dapat dirasa
dengan jiwa. Ia tak memberi banyak dalam dunia nyata tapi ia memberi sepenuhnya
pada setiap rasa.
v
Acara
berakhir dengan tepuk tangan yang begitu meriah, terlihat wajah-wajah sumringah
para peserta yang mengerti banyak hal kini. Tentang penghargaan yang kita beri
untuk oranglain.
Tiba-tiba
aku teringat tangisan tergugu dini hari tadi, tangis kecewa seorang wanita
paruh baya tentang harga sebuah rasa.
Komentar