Senja di Tengah Gelora Libya
Oleh : Riyadi S. Harun ( Ma'had Tsani Ta'hili )
Saat itu, matahari mulai terbenam secara perlahan. Namun, cahayanya
yang begitu terang masih sangat terasa ketika tidak ada sekumpulan awan pun
yang menghalagi dahsyatnya kilauan sang penguasa siang.Sambil menikmati
secangkir kopi robusta hangat yang saya siapkan beberapa saat yang lalu, saya
jadi teringat akan pengalaman pertama saya ketika hijrah ke tanah Libya ini
yang begitu mengesankan.
Berawal dari sebuah inbox yang masuk ke handphone
saya saat jam belajar masih berlangsung dan saya memilih untuk mengambil handphone
yang tersimpan di saku kanan celana saya untuk membacanya, “Di, Alhamdulillah kalian uda diterima di Libya, dan aku baru dapat
kabar kalau visa kalian uda keluar, kalau bisa secepatnya kalian ke Jakarta
buat ngurus visa, nanti kita bisa berangkat sama-sama”. Ternyata itu sebuah
pesan dari kawan saya yang beberapa bulan lalu mengurus berkas murasalah kami
untuk melanjutkan pendidikan di Libya, seketika itu pula pikiran yang tadinya
hanya fokus dengan apa yang sedang diajarkan berganti dengan perasaan gembira
yang tidak bisa digambarkan dengan apapun. Dengan wajah yang begitu ceria dan
senyuman yang saat itu tidak bisa saya sembunyikan, saya menyodorkan handphone
saya kepada seorang teman yang duduk tepat disebelah kanan bangku saya, dengan
harapan dia juga akan merasakan apa yang saya rasakan.”Wi, coba baca, ni ada pesan dari Jufri”. Tiba-tiba terlihat wajah
Nahrawi membalas senyuman saya, saya bisa merasakan bagaimana perasaan dia saat
mengetahui kalau tidak lama lagi kami akan mendapatkan apa yang selama ini kami
inginkan. Maklum saja, setelah kami menjadi alumunus di salah satu pondok
pesantren di Aceh, seakan hidup kami tidak pernah terpisahkan, mulai dari
menjadi mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry dengan fakultas
dan jurusan yang sama sampai akhirnya tinggal di Mahad Daarut Tahfidh Al-Ikhlas
dengan mengikuti program ‘idad lughawi di Lembaga Ilmu Pendidikan Islam
dan Arab (LIPIA) Aceh setelah gagal berangkat ke Arab Saudi. Berita itu seakan
menjadi jawaban atas doa kami selama ini, seperti layaknya pasangan suami istri
yang sudah lama menginginkan keturunan tapi tidak pernah kesampaian. Namun, sekian
lama mereka bersabar tiba-tiba berita kehamilan istrinya di dapat setelah hasil
diagnosa dokter menyatakan si istri positif hamil, begitu bahagianya mereka,
bukan? Begitu juga yang kami rasakan saat itu, seakan lisan tak pernah berhenti
mengucapkan kata-kata syukur kepada Allah SWT.
Mulai saat itu, kami mulai disibukkan dengan berbagai persiapan
untuk keberangkatan sehingga jumlah
ketidakhadiran kami di LIPIA semakin meningkat dan berbagai pertanyaan dari
kawan-kawan pun harus kami layani, mungkin karena kami tidak pernah memberi
tahu mereka tentang pengurusan berkas ke Libya, meskipun kami sudah dinyatakan
lulus, ini sengaja kami rahasiakan karena kami sudah pernah merasakan bagaimana
harus menanggung beban disaat orang-orang sekitar tahu kami lulus beasiswa ke
luar negeri tapi tidak berangkat, disitulah kadang saya merasa sedih. Tak
terkecuali pertanyaan juga datang dari seorang lelaki separuh baya yang
berjenggot rapi dengan kacamata buatan Italia yang memanggil kami ke ruangannya.
Iya, dia adalah Syeikh Shahibany, mudir LIPIA saat itu. Sosok yang sangat kami
kagumi karena sifatnya yang begitu penyayang. Akhirnya kami berterus-terang
perihal apa yang membuat kami berhalangan hadir selama ini,”kami merasa senang atas kesenangan kalian dan kami juga merasa sedih
atas kesedihan kalian”. Itulah kalimat terakhir dia ucapkan yang tidak bisa
saya lupakan sampai sekarang.
Setelah mendapat kabar kalau nama kami sudah tidak ada lagi di
LIPIA, mungkin ini karena jumlah ketidakhadiran kami yang sudah mencapai angka
maksimun atau setelah kami menjelaskan perkara kelulusan kami kepada mudir,
disitulah kami mulai merasa sedikit harus menetaskan airmata, sejujurnya ini
bukan karena kami harus keluar tidak pada waktunya, melainkan karena ujian
akhir yang hanya tinggal menghitung hari dan pelaksanaan wisuda yang menjadi
momen penting harus kami tinggalkan begitu saja sehingga nostalgia akhir
bersama kawan-kawan di LIPIA tidak bisa kami sempurnakan. Inilah namanya hidup,
disaat ada dua jalan yang sama-sama memberi pengaruh besar dalam kehidupan,
maka kita harus berani mengambil satu jalan dengan berbagai pertimbangan dan
meninggalkan yang satunya meskipun akan menyisakan luka.
Tepatnya pada hari minggu, 21 Desember 2014, tiga keluarga besar
berkumpul di salah satu sudut Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh.
Mereka adalah keluarga saya, Jufriadi dan Nahrawi. Namun, kabar yang tidak
diinginkan pun datang setelah kami melakukan
check in di kounter salah satu maskapai yang sudah kami booking beberapa hari yang lalu,
ternyata ketidaktelitian kami disaat memesan tiket mengakibatkan kekecawaan
begitu mendalam yang kami rasakan, jadwal keberangkatan hari minggu itupun
terpaksa kami alihkan ke hari senin setelah tahu kalau pihak travel tempat kami
beli tiket salah menulis tanggal keberangkatan kami yang mulanya 21 Desember
2014 tertulis 20 Desember 2014 sehingga pihak maskapai tidak bisa membantu
kecuali kami mau membayar dua kali lipat dari harga biasanya. Hasilnya, kami
harus tinggal sehari lagi di Tanah Rencong dan keluarga saya harus segera
kembali ke kampung meski tidak sempat melambaikan tangan ke pesawat seperti
yang biasanya dilakukan oleh keluarga-keluarga lain disaat salah satu dari
mereka pergi meninggalkan kampung dalam waktu yang lama.
Sesampainya kami di ibukota, kami tinggal di rumah Ustadz Ali Sodikin
yang sebelumnya sudah mengenal Jufriadi. Beliau begitu baik kepada kami
meskipun baru dikenalnya, kami tidak
merasa diperlakukan seperti orang baru, melainkan seperti keluarga beliau
sendiri. Setelah beberapa hari, kami mendapat kabar kalau tiket sudah dikirim
dan ternyata disitu hanya tercantum nama Jufriadi, Muhammad Nahrawi, Alvan
Satria Shiddiq, Muhammad Faiki Azzam dan dua senior kami Zaki Imamuddin dan
Muhammad Yusuf Haddad. Musajjil kampus mengabarkan kalau tiket untuk saya tidak
bisa dibelikan karena nama saya di paspor hanya satu kata, sehingga saya
diberikan dua opsi, apakah harus berangkat dengan biaya sendiri atau
menambahkan dua kata lagi di kolom nama pada paspor saya. Saya memilih opsi
yang kedua karena meskipun memilih berangkat dengan biaya sendiri tetap saja
keinginan untuk berangkat bersama tidak bisa ditunaikan karena kuota yang berangkat
pada tanggal 28 Desember 2014 sudah penuh. Takdir Allah memang tidak bisa diramalkan,
keberangkatan enam sahabat saya dikala itu harus kembali menelan kekecewaan,
disaat Maskapai Turkish Airlines menyatakan kalau tiga dari enam sahabat saya
tidak diperbolehkan berangkat karena alasan teknis. Disatu sisi saya sedih
karena sahabat saya tidak bisa berangkat sesuai jadwal, tapi disisi yang lain
saya merasa senang karena akhirnya mereka akan menemai saya berangkat di
kemudian hari. Setelah mengurus paspor dan tiket ketiga sahabat saya, akhirnya
kami dijadwalkan berangkat pada Selasa, 6 Januari 2015. Merupakan jadwal yang
begitu mengesankan buat saya, karena saya menganggap keberangkatan kali ini
akan menjadi kado spesial ulang tahun saya yang ke-21. Namun, apa hendak
dikata, kekecewaan kembali menghampiri setelah mendapat kabar kalau Maskapai
Turkish Airlines tidak lagi beroperasi ke Bandara Internasional Tripoli karena
faktor keamanan dan kondisi bandara yang sudah tidak beroperasi setelah sehari
sebelumnya diserang oleh kelompok yang sedang bertikai disana. Kado spesial
yang saya anggap itupun sirna dan dihari jadi saya saat itu saya habiskan
dengan mengajak Jufriadi ke Tangcity, salah satu supermarket ternama yang ada
di Kota Tangerang untuk makan di KFC dan mencoba beberapa baju baru di kamar
pashanya untuk sekedar menenangkan pikiran. Beberapa kejadian yang menggagalkan
kami berangkat dimulai dari Aceh pada tanggal 21 Desember, tanggal 28 Desember
dan terakhir tanggal 6 Januari semakin membuat kami sadar kalau kehendak Allah
tidak bisa kita rubah kecuali hanya bertawakal. Akan tetapi, yang sangat
membuat kami terharu ketika Ustadz Ali selalu menawarkan rumahnya sebagai
tempat singgahan sebelum mendapat kepastian kapan kami akan berangkat, karena
pada awalnya kami hanya berencana tinggal seminggu di rumah beliau, tetapi pada
akhirnya kami menghabiskan waktu sebulan dirumah yang ditempati oleh Ustadz Ali
dan istrinya beserta 4 anak-anaknya yang masih kecil ditambah seorang kakek
yang tidak lain adalah ayah kandung dari Ustadz Ali itu sendiri.
Pada keberangkatan yang terakhir ini, kami hanya bertawakal kepada
Allah, kalau memang ditakdirkan untuk
bisa melanjutkan pendidikan di Kuliyah Dakwah Islamiyah pasti akan Allah
mudahkan perjalan kami kalau memang tidak, maka Allah punya rencana lain. Akhirnya,
jadwal keberangkatan kali ini berhasil membawa saya, dan tiga sahabat saya
menghirup udara di Bandara Attaturk, Istanbul-Turki. Meskipun tidak sempat
menginjak langsung tanah di Turki atau mencium harumnya bunga-bunga disana,
pemandangan di dalam bandara yang dipenuhi oleh mayoritas penduduk Turki sudah
membuat jantung saya berdetak lebih cepat, sesekali bulu roma saya berdiri
karena takjub melihat ciptaan Allah yang begitu indah. Tidak boleh termakan
suasana, karena kami harus kembali mengemaskan barang-barang untuk mengurus
keberangkatan ke Libya dengan menggunakan Maskapai Afriqiyah Airlines yang
dijadwalkan akan take off pada jam
2.00 siang waktu setempat. Namun, peristiwa kali ini membuat kami jauh lebih
kecewa dari sebelumnya, karena sekian lama kami menunggu didepan kounter
maskapai tersebut tidak nampak seorang karyawan pun yang akan melayani kami dan
penumpang yang lain untuk melakukan check
in, apalagi posisi kami di negara orang yang sama sekali tidak ada
seorangpun yang kami kenal. Belakangan kami mendapat kabar kalau cuaca buruk
yang melanda Libya membuat penerbangan terganggu, sehingga Maskapai Afriqiyah
Airlines harus menunda kebrangkatan dan kami harus menunggu disana sampai
kondisi kembali stabil. Meski hanya sarapan dengan dua potong roti dibagi empatdan
sebotol air mineral yang simpan oleh Bang Yusuf ketika keluar dari pesawat
membuat kami sedikit lebih baik, setidaknya itu bisa sedikit mengganjal perut
kami di hari itu sambil menunggu kabar selanjutnya dari pihak maskapai.
Seharian hanya kami habiskan untuk berkeliling bandara atau duduk ketika
otot-otot kami terasa pegal. Dari jarak yang tidak begitu jauh terlihat seorang
gadis mengenakan long-john hitam
panjang dan jilbab khas Turki berwarna biru sedang duduk menyendiri dengan dua
koper besar disampingnya, wajahnya yang begitu mengesankan membuat saya betah
berlama-lamaan disana, sempat terlindas dipikiran saya kalau suatu saat ingin
mempersunting seorang gadis Turki, meskipun bukan dia. Sampai akhirnya dua
orang datang dan membawa semua barang-barang dari tempat duduknya, ternyata dari
tadi gadis itu menunggu orang tuanya yang sedang melalukan check in di kounter yang tidak terlalu jauh dari tempat dia duduk.
Setelah sekian kami menunggu tanpa kepastian dan rasa lapar yang
begitu menyiksa, timbul inisiatif dari Bang Yusuf untuk datang ke costumer service untuk
menanyakan kabar keberangkatan, belum sempat menanyakan apapun seorang karyawan
keluar dari ruang tersebut seakan ingin menempelkan sesuatu di kaca depan,
disitu tertulis, “CHECK IN BEFORE 8 PM”.
Itu menandakan kalau kami harus ke kounter untuk segera melakukan check in, setelah antre yang begitu
panjang tibalah saatnya jatah kami untuk check
in dan menimbang barang-barang yang akan dimasukkan ke bagasi, ternyata
barang-barang kami overweight sampai
40 kg, sungguh jumlah yang sangat besar untuk maskapai internasional yang
melayani standard domestic sehingga kami diminta untuk membayar ke bagian costumer service, disini Bang Yusuf
kembali menjadi pahlawan bagi kami, inisiatifnya untuk memohon dengan mengaku
sebagai pelajar yang tidak memiliki banyak uang untuk membayar menjadi pertimbangan bagi pihak maskapai dan
akhirnya mengembalikan paspor dan boarding
pass kami yang sebelumnya ditahan. Disana
juga kami sempat berkenalan dengan seorang penduduk asli Libya yang sekarang
sedang mengambil program Ph.D di salah satu Universitas di Malaysia, sebut saja
namanya Abu Bakar. Ketika asik berbincang dengan beliau, tiba-tiba seorang
lelaki tua dengan tiga kantong plastik ditangannya datang menghampiri kami, “nak, ini ada sedikit rezeki untuk kalian,
ada roti khas Pakistan, ayam dan beberapa minuman, saya harap kalian senang
menerimanya”. Ucap lelaki tersebut yang kemudian langsung pergi entah
kemana. Tanpa berpikir panjang ketiga plastik tersebut kami terima dan langsung
kami melirik salah satu sudut bandara yang agak sepi untuk diselesaikan secara
adat, kedatangannya seperti malaikat pembawa hujan dikala kemarau panjang.
Setelah mengabiskan satu palstik makanan yang diberikan tadi kami kembali
menunggu sampai pesawat benar-benar meninggalkan Kota Istanbul pada jam 01.00
pagi, artinya kami menghabiskan waktu seharian hanya di bandara.
Dan akhirnya pada tanggal 24 Januari 2015 untuk pertama kalinya
saya menginjakkan kaki di tanah Libya ini. Setelah menunggu beberapa saat,
tiba-tiba seorang lelaki yang sudah tidak asing lagi bagi saya datang
menghampiri kami beliau adalah Ustadz Abdullah Ateeg yang telah banyak membatu
keberangkatan kami dan kemudian mengarahkan kami ke arah parkiran untuk segera
menuju mobil yang sudah menunggu, dalam perjalanan menuju kampus banyak
pemandangan yang menyakinkan saya akan bagaimana kondisi Libya yang sebenarnya.
Hingga kami tiba di sebuah gerbang yang didepannya berdiri sebuah tank tempur,“Nah, alhamdulillah kita sudah sampai Di, inilah
dia kampus kita”. Ucap Jufri sambil menjelaskan beberapa gedung kampus.
Sungguh kampus yang begitu besar menurut saya, tapi kasian tidak begitu terawat
mungkin karena kondisi keamanan Libya yang belum stabil sehingga menghambat
perkembangan setiap instansi yang ada serta membuat sebagian negara enggan
mengizinkan warganya untuk menuntut ilmu disini, meskipun keadaan kita disini
aman-aman saja. Menurut saya, Libya adalah salah satu negara yang unik, disatu
sisi saya takjub melihat sebagian warganya yang seakan mereka tinggal di negara
yang aman, ini terbukti selama hampir dua bulan saya disini sampai tidak bisa
membedakan mana bunyi senjata dan mana bunyi mercon yang selalu menghiasi
langit Libya dimalam hari. Disisi yang lain saya masih heran dengan kondisi
politik Libya yang tak kunjung mencapai permukaan. Apa yang sebenarnya mereka
inginkan? Hanya mereka yang tahu dan tugas saya disini hanya belajar, belajar
dan belajar hanya itu.
Begitulah kisah saya dan sekarang saya semakin yakin, kalau Allah pasti
akan mengabulkan setiap doa yang dipanjatkan meskipun tidak secara langsung,
mungkin supaya kita bisa memahami arti kesabaran atau ada hal lain yang jauh
lebih baik dari apa yang kita inginkan. Itu semua adalah rahasia-Nya, karena
Allah jauh lebih mengetahui apa yang terbaik buat kita. Nah, tanpa terasa
secangkir kopi sudah saya habiskan sambil menikmati senja di tengah gelora
Libya.
Wassalam
Komentar