oleh : Muhammad Hilmi
Pasca revolusi Libya 2011, hanya segelintir mahasiswa
Indonesia yang berkenan dan bisa kembali ke kampus tercinta ini. Dengan
keterbatasan jumlah, show keep go on. Seperti rutinitas Idul Adha yang
mengotakkan kita dalam kotak-kotak kecil, setiap kotak kecil berisi himpunan 15
individu mahasiswa yang biasanya berasal dari satu Negara. Setelah sekian tahun
kita menikmati daging qurban bersama teman-teman Negara lain seperti Malaysia
dan Thailand, akhirnya di tahun 1436/2015 ini kita bisa berhimpun sesama teman
Indonesia untuk mendapatkan jatah seekor domba.
Dari total 27 orang anggota kesatuan keluarga
mahasiswa Indonesia, hanya ada 21 orang yang di Idul Adha tahun ini bisa
bermukim di dalam asrama kampus. Jadilah tahun ini kita mendapatkan seekor
setengah domba ditambah beberapa kilo daging unta dan beberapa potong paha
kambing yang kita terima dari sedekah beberapa masyarakat Libya.
Oh ya, ada hal unik tentang Libya dan sepotong paha.
Dalam tradisi mereka, mereka terbiasa menyedekahkan sepotong paha dari setiap
ekor domba yang mereka sembelih di hari raya idul Adha. Paha-paha tersebut
biasanya mereka sedekahkan ke kerabat, tetangga ataupun kawan mereka. Jadi
makin banyak jumlah kawan kita dari warga-warga lokal besar kemungkinan akan
makin banyak jumlah potongan-potongan paha yang akan kita dapat (Hahahha ngarep
banget).
Masih tentang tradisi masyarakat Libya di hari Idul
Adha, (gw bahas yang baik-baik dulu ya) tidak seperti kita masyarakat Indonesia
yang pulang kampung berkumpul dengan keluarga besar di hari raya Idul Fitri.
Masyarakat Libya sebaliknya, mereka justru mudik pulang kampung di hari raya
Idul Adha, berkumpul bersama keluarga besar di kampung halaman, menyembelih dan
menikmati daging qurban bersama. Karena itulah hari libur mereka di hari raya
Idul Adha lebih panjang dari hari libur mereka di hari raya Idul Fitri.
Di beberapa masjid juga memasang baliho bertuliskan
“menerima sedekah daging qurban” yang selanjutnya di distribusikan kepada
mereka-mereka yang berhak.
Di moment lebaran kali ini saya berkesempatan
berkunjung ke beberapa kawan dari Negara Chad yang telah sekian generasi
bermukim di Negara Libya ini. Kesederhanaan kehidupan padang pasir masih begitu
kental terasa, hal ini tersirat dari bagaimana mereka mengolah dan menyajikan
daging qurban. Daging domba yang sudah mereka potong-potong mereka bakar begitu
saja tanpa di bumbui apapun, selanjutnya mereka menghidangkan potongan daging
tersebut diatas nampan bersama garam dan pisau. Jadi kita sendiri yang menyayati
daging tersebut kemudian kita cocolkan ke garam baru kemudian kita makan (gw
jadi keinget kayak lagi rujakan di kampung gan).
Nah sekarang sisi lain gejala sosial yang nampak pasca
hari raya. Kurang tertatanya penataan dan pengelolaan sampah di dalam kota
banyak menimbulkan gunung-gunung sampah di beberapa titik. Dalam sebuah
keluarga besar biasanya mereka menyembelih seekor atau bahkan bisa sampai tiga
ekor domba tergantung dari seberapa banyak jumlah keluarga besar mereka.
Masalah timbul setelah masa penyembelihan, banyak dari mereka yang membuang
kulit-kulit domba begitu saja di pinggir-pinggir jalan, bahkan ada juga
kaki-kaki dan kepala domba yang bergeletakan di pinggir jalan. Coba kita
bayangin, andai semua dari keluarga tersebut membuang sampah qurban di pinggir
jalan raya kira-kira akan ada berapa gunung kulit, gunung kaki dan gunung
kepala domba. Sejatinya kita sebagai umat muslim harus sadar dengan kebersihan
lingkungan sekitar, tentunya untuk kemaslahatan kita bersama. Eh
ngomong-ngomong, kulit, kaki dan kepala domba yang kita potong kemarin kemana
ya ?, gak di buang di pinggir jalan juga kan . .?
Komentar
keren tulisannya,
tapi ngeri juga ya kalo disetiap pinggiran jalan banyak kepala tangan dan kaki buntung bertebaran....