Pemuda hari ini
Oleh : Gusri Ujang
Ketika anak-anak dinegeri Jepang sana antrian dihalte-halte pemberhentian bus dipagi buta- atau di stasiun-stasiun kereta api agar tidak ketinggalan kereta menuju kesekolah-sekolah mereka, kita sebagai anak bangsa Indonesia untuk dibangunkan dipagi hari saja susahnya kepalang minta ampun, harus digedor-gedor terlebih dahulu, digelitiki, dicubit, ditendang dan dimarahi, dengan cara begitulah baru hendak bangun memulai aktivitas disempitnya waktu yang tersisa penuh ketergesa-gesaan. Hal itu terjadi dimana-mana, baik itu dirumah bagi anak remaja yang tinggal bersama orang tua mereka, ataupun bagi mereka yang “numpang” dipesantren sekalipun, mereka terlihat sangat tak kuasa untuk segera membersihkan duri-duri kantuk yang menghujami mata-mata mereka dipagi hari untuk lekas bergerak memulai kegiatan dengan penuh semangat, sekalipun tidurnya dimalam hari sangat pantas untuk dibilang cukup. Belum lagi di sore hari, mereka harus dibentak-bentak untuk mau mandi, harus didorong-dorong agar segera berangkat ke Taman Pendidikan Alqur’an (TPA) dengan cepat. Ya, Ini belum lagi membahas tentang kesungguhan mereka dalam belajar dan mengaji. Jika masalah bangun pagi, masalah mandi, masalah berangkat kesekolah saja remaja-remaja kita masih bermasalah, lantas kapan dan bagaimana impian kita bersama bisa segera terwujud untuk membangun peradaban seperti halnya Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, dan Australia?.
Ini
jika kita bercerita tentang mereka yang berada di pesantren yang notabene masih
kental dengan pelajaran agama dan moral, shalat berjama’ah masih dilakukan
secara rutin, puasa sunnah senin kamis masih menjadi program utama dalam
menggapai ridho ilahi, lantunan ayat-ayat alqur’an masih semarak didendangkan,
kajian hadis dan fikih tak alfa sebagai pengganti malam mingguan, adat sopan
santun dalam bermuamalah yang terus terjaga dan lain sebagainya. Lantas bagaimana yang di
luar pesantren sana? Masalah pacar saja sampai tawuran dan saling menjalin
permusuhan, saat terjadi sedikit kesenjangan pendapat dengan keluarga larinya
ke miras, sabu-sabu dan narkoba. Baru lihat majalah dewasa saja langsung
praktek onani, masturbasi bahkan prilaku seks bebas yang dilakukan di
losmen-losmen tanpa adanya rasa malu, terutama malu pada Allah SWT. Jadi sangat
Wajar ketika dewasa mereka merusak negara dengan korupsi, perbuatan amoral, dan
berbagai hal buruk lainnya. Jika masalah-masalah kecil saja belum mampu mereka
atasi, bagaimana mau memikirkan soal teori-teori fisika, rumus-rumus
matematika, hukum-hukum ekonomi, butir-butir kimia dan berbagai bidang iptek
lainnya? yang secara serius kesemua itu membutuhkan konsentrasi penuh dan
kesadaran tinggi yang dimulai dari diri sendiri setiap pribadi insan suatu
negara?? Bahkan kini perpus-perpus sekolah sudah mulai sepi dari siswa-siswi
yang berasyik-masyuk membaca buku. Waktu luang di sekolah dipakai untuk online
di Hp atau notebook. Asyik saling berkiriman pesan dengan teman-teman atau
lawan jenis yang baru dikenali menghabiskan ribuan bonus gratis SMS yang diberikan
secara cuma-cuma kepada para pelanggan setia, hingga mereka lupa waktu dan
makan. Ketika pulang lebih memilih nongkrong di warung kopi atau di mal-mal
daripada ikut bimbingan belajar. Atau hanya sekedar menghabiskan indahnya malam
dengan cerita ngidul sana-sini dengan teman-teman sejawat, dihangatkan
secangkir kopi dan sederetan rokok bak kereta yang tak kunjung berhenti
dibibirnya, atau sibuk dengan game-game yang sama sekali tidak memberi manfaat
lahir batin kecuali hanya kerugian waktu dan kantong orang tua. Bahkan ironisnya
lagi, nasihat dan perkataan orang tua tidak lagi diindahkan dan diutamakan
namun dibelakangi dan diabaikan. Hingga terlahirlah generasi-generasi durjana
yang tercipta secara perlahan didalam sebuah komplek kehidupan yang disebut lingkungan
dan pergaulan.
Benar,
lingkungan yang merupakan tempat dimana seorang insan terus bernafas dan
bergerak dengan segala pergaulannya, ternyata telah membentuk seseorang menurut
apa yang diajarkan dalam lingkungan dan pergaulan itu. Saat lingkungan dan
pergaulan itu baik, besar harapan hasil yang diberikan baik dan membanggakan
semua pihak, namun saat keduanya tidak lagi mengipaskan bau yang sedap,
seuntaian permatapun berdebu karenanya. Benarlah apa yang disampaikan oleh
Rasulullullah SAW didalam sebuah hadisnya yang maknanya bahwa seseorang yang
bertemankan penjual minyak wangi, minimalnya percikan wewangian tersebut sudi
menghampirinya dan iapun harum karenanya dan mereka yang bertemankan situkang besi,
karat besi itu akan membuat tubuhnya ikut terserang sengatan baunya. Maka jelaslah
bahwa seseorang itu tergantung dengan temannya.
Maka
dari seuntai kegelisahan diatas, sungguh saya belum bisa menggambarkan
bagaimana keadaan Indonesia di masa 20 tahun mendatang, namun saya tak yakin
semua akan lebih baik jika generasi anak remaja yang lahir ditahun 2000an seperti
sekarang ini wajahnya. Di saat seperti ini saya hanya bisa menyepi di ruang
khayal negeri Libya untuk menyatukan kata perkata, menyusunnya hingga menjadi
sebuah kalimat, semoga saja kalimat itu berantai menjadi banyak paragraph yang
mampu mengobati dilema yang sedang menjangkiti para remaja yang hidup diera ini
.
***
Dalam dilema ini, saya diingatkan akan para pemuda dizaman Rasululllah SAW. Bagaimana seorang Usamah bin Zaid pada perang Uhud merengek pada Rasulullah SAW agar diizinkan untuk ikut berperang, namun ia kembali pulang dalam keadaan menangis karena belum mendapat restu dari Rasulullah SAW. Pada perang Khandaq hal serupapun terjadi, ia berdiri diantara teman sebayanya agar terlihat dewasa dan siap mengikuti perang, karena keras hatinya, Rasulullah SAW pun pada akhirnya memberikan izin, lalu dengan bangganya iapun menyandang sebilah pedang, padahal saat itu ia baru berumur 15 tahun.
Dalam dilema ini, saya diingatkan akan para pemuda dizaman Rasululllah SAW. Bagaimana seorang Usamah bin Zaid pada perang Uhud merengek pada Rasulullah SAW agar diizinkan untuk ikut berperang, namun ia kembali pulang dalam keadaan menangis karena belum mendapat restu dari Rasulullah SAW. Pada perang Khandaq hal serupapun terjadi, ia berdiri diantara teman sebayanya agar terlihat dewasa dan siap mengikuti perang, karena keras hatinya, Rasulullah SAW pun pada akhirnya memberikan izin, lalu dengan bangganya iapun menyandang sebilah pedang, padahal saat itu ia baru berumur 15 tahun.
Bagaimana pula seorang Sa’ad bin Mu’adz menerima islam disaat ia menginjak usia 30 tahun (usia yang tergolong masih muda diantara sahabat-sahabat Nabi yang lain) , lalu iapun wafat saat berusia 36 tahun, namun kematiannya mengguncang arsy ar-Rahman atas apa yang ia berikan untuk islam.
Bagaimana
pula dengan Musaib bin Umair seorang pemuda tampan, cerdas dan kaya, namun ia
harus kehilangan semua itu ketika ia harus mempertahankan akidah dan imannya
kepada Allah SWT. dan rasulNya yang mulia
dan pada akhir hayatnya iapun tercatat sebagai syahid menemui Allah SWT.
kematiannya meninggalkan duka bagi seluruh kaum muslimin bahkan Nabi SAW
bersedih karenanya. Karena kemiskinannya diakhir hayatnya , tak sehelaipun kain
kafan yang layak untuk menutupi jasadnya kecuali sehelai kain burdah, kain yang
bila ditaruh dibagian kepala, terbukalah kedua kakinya, sebaliknya bila
ditutupi bagian kakinya maka terbukalah kepalanya. Sehingga rasulullah bersabda
: tutupkanlah kebagian kepalanya dan kakinya tutupi dengan rumput idkhir.
Masih
banyak lagi sahabat muda dizaman rasulullah dan dan zaman-zaman berikut
setelahnya yang memiliki predikat tinggi dalam kehidupannya untuk agama dan
bangsanya. Mereka adalah orang-orang teladan bagi pemuda/i muslim. Mereka
mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan
kehidupan akhirat. Mereka adalah pemuda-pemuda cerdas yang gemar menuntut ilmu,
mengamalkannya dan mendakwahkannya dengan argumentasi yang sangat meyakinkan
bagi sesiapa yang menyimaknya. Bahkan musuh-musuhpun takluk dihadapannya, karenanya.
Dan bagi
kita remaja dan pemuda hari ini, kontribusi apa
yang sudah kita berikan untuk agama dan bangsa ini? Atau barangkali pertanyaannya
yang lebih tepat, apa yang sudah kita berikan untuk diri kita sendiri…??
Komentar