Bismillahi bifadhlillahil ‘adziim
Ketahuilah wahai pembaca, bahwasannya umur kita terbatas, waktu kita terbatas, dan rajin kita juga terbatas, maka dari itu…menulislah! Karena dengan menulis, kebaikan kita bisa abadi.
Mari kita telusuri bagaimana ikhlasnya para Ulama dalam menuliskan sebuah kitab.
Diriwayatkan ketika Ibnu Ajurrum (Penulis kitab Al-Ajurrumiyyah) merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau bermaksud untuk menenggelamkan kitabnya ke dalam air yang mengalir.
Jika kitab itu terbawa arus maka berarti kitab tersebut kurang bermanfaat, sedangkan bila ia tetap tidak terbawa arus maka ia akan tetap dikaji orang dan akan besar manfaatnya. Sambil meletakkan kitab tersebut kedalam air beliau berujar “Jurru Miyah, Jurru Miyah” (mengalirlah wahai air).
Anehnya, setelah diletakkan dalam air kitab tersebut tetap bertahan dan tidak terbawa oleh arus.
Seperti yang kita ketahui, bahwasannya kitab Al-Ajurrumiyyah sekarang sudah sangat populer dan dipelajari oleh banyak orang, mulai dari anak-anak santri sampai menjadi kitab rujukan bagi siapa yang ingin lebih dalam mempelajari bahasa arab.
Kemudian, menelusuri seorang ‘Alim Al-Imam Malik Rahimahullah, beliau pernah ditanya apa faedahnya menyusun kitab Al-Muwatha’ (?) padahal pada zaman itu masih banyak kitab Muwatha’ yang serupa.
Lalu beliau menjawab, “ Sesuatu yang diniatkan karena Allah, niscaya akan abadi. ”
Dan sampai sekarang, kitab Al-Muwatha’ Imam Malik-lah yang paling eksis dan dipelajari oleh banyak ulama dari berbagai penjuru dunia. Maa syaa Allah…
Dan dikisahkan, bahwa Imam Al-Mawardhi tidak langsung menebarkan karangan-karangannya untuk masyarakat umum. Beliau menyembunyikannya terlebih dahulu di suatu tempat. Ketika ajalnya sudah dekat, beliaupun berwasiat kepada orang yang dipercayainya.
Imam Al-Mawardi berkata: “Kitab-kitabku yang terdapat di tempat (persembunyian) itu, semuanya adalah karanganku. Aku belum menebarkannya karena aku belum mendapati niat yang bersih dalam hatiku. Jika aku sudah berada dalam sakaratul maut, letakkanlah tanganmu pada tanganku. Nanti kalau aku menggenggam tanganmu dan meremasnya, maka ketahuilah bahwa tidak ada satupun karanganku yang diterima Allah. Jadi, ambillah semua kitabku itu dan lemparkanlah ke Sungai Dijlah/ Tigris.
Tetapi kalau tanganku membentang dan aku tidak menggenggam tanganmu, maka ketahuilah bahwa karya-karyaku itu telah diterima Allah dan aku sudah mendapatkan niat bersih yang kuharapkan”
Orang yang diwasiatkan oleh Imam Al-Mawardi itu pun berkata: “Ketika sudah dekat saat wafatnya, aku meletakkan tanganku pada tangan beliau. Ternyata beliau membentangkan tangannya dan tidak menggenggam tanganku. Dari situ aku tahu bahwa amal beliau telah diterima Allah. Karenanya, aku pun mempublikasikan kitab-kitab tersebut setelah beliau wafat”.
(Dikutib dari Kitab Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra, Juz 3)
Dari banyaknya jalur untuk menebarkan kebaikan, mengabadikan tulisan adalah cara yang paling baik dan dipilih oleh para ulama.
Jika tidak mampu untuk menyajikan materi tulisan, maka setidaknya jadilah orang yang bisa membaca karya tulisan para ulama, karena hal tersebut juga termasuk kebaikan yang mengalirkan keberkahan, meskipun tidak abadi.
Sekian dan terimakasih sudah menyempatkan untuk membaca 😊
Lathifah Ainun qolbi
Anggota Dep.pendidikan 2024
Komentar