Kompleksitas Mayoritas: Antara Kepuasan dan Kekuasaan
Muhammad Akhdan Muzakki
Agama dan segala kapasitasnya menuntun manusia untuk menelusuri makna kehidupan
di garis sejarah manusia yang dipenuhi ribuan belukar pertanyaan di tengah gurun luas
ketidaktahuan dan membantu menyusuri serta mencari jawaban di lorong zaman yang
gelap gulita. Pada satu periode masa tertentu, urgensi agama terus meningkat karena
orang-orang merasa relevansi agama dapat terus melintasi ruang dan waktu, alasan
yang cukup logis bagi orang-orang yang mendalami agama sebagai pedoman hidupnya,
namun banyak dari bangunan alasan bawah sadar mereka tidak lain adalah karena
agama merupakan doktrin candu yang terus disuapi kepada mereka untuk tetap
beragama.
Namun di balik itu semua, sebagaimana dipopulerkan oleh Mircea Eliade alasan mutlak
manusia memulai agama juga karena manusia merupakan Makhluk Religi (homo
religiosus) sekaligus Makhluk Bijaksana (homo sapiens), yang secara sadar
membutuhkan sandaran sederhana untuk membatasi hal-hal di luar nalar sekaligus
sebagai episentrum kebaikan yang utama. Bahkan agama juga telah ikut mewarnai tali
sejarah peradaban dunia. Tapi pertanyaannya, apakah warna ini hanya menjadi hiasan
ruang sakral sejarah atau ikut mewarnai perjalanan panjang manusia modern?
Agama Islam sebagai doktrin yang Komprehensif (comprehensive doctrine) mengandung
pesan-pesan moral maupun kemanusiaan yang bersumber dari Al-Qur’an sebagai ayat-ayat kebijakan Tuhan yang sangat relevan dan mampu dibumikan dalam realitas
kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, sudah sepatutnya Agama Islam dapat
memenuhi segala pertanyaan yang bertumpuk di berbagai macam kepala manusia.
Namun di saat yang bersamaan, ada terlalu banyak kepala dan pertanyaan yang
bertumpuk di antara mereka. Dan ternyata, pertanyaan yang terlalu banyak itu tak
mampu ditampung oleh sekadar pengetahuan agama yang dibatasi ideologi dogmatis
yang menolak moderasi.
MANUSIA DAN AGAMA
Sebelum ke pembahasan utama, ada sedikit ketidakteraturan yang menyebabkan
keterbatasan agama untuk menjawab pertanyaan manusia. Manusia secara natural
setidaknya memiliki Anguish (Kecemasan), Abandonment (Ketelantaran), dan Despair
(Keputusasaan). Anguish (Kecemasan) – menurut para penganut Eksistensialisme – ada
pada tanggung jawab seseorang akan nasib orang lain ketika menentukan sebuah
pilihan, karena selalu ada pluralitas kemungkinan. Penggambaran yang tepat untuk ini
layaknya komandan pleton yang terpaksa mengirimkan prajurit terbaiknya ke tempat yang paling rawan dan berbahaya dalam peperangan, namun pilihan harus tetap
ditentukan. Oleh karena itu, Anguish merupakan kondisi tindakan manusia. Adapun
Abandonment (Ketelantaran), terkait dengan absennya tuhan dari kehidupan manusia.
Tanpa adanya tuhan sebagai penentu, manusia sama sekali bebas tidak ada
determinasi. Manusia ditinggal sendiri tanpa adanya alasan untuk membenarkan atau
menyalahkan tindakannya, sehingga kemudian manusia “dikutuk menjadi bebas”.
Kemudian Despair (Keputusasaan) diartikan oleh Sartre bukan sebagai putus harapan
seperti tejemahan harfiahnya, melainkan sikap membatasi diri untuk mengandalkan hal-hal yang termasuk kehendak kita atau penjumlahan semua probabilitas yang
memungkinkan tindakan kita.
Maka pada awalnya, para pencetus agama membentuk tuhan demi menghapuskan
Anguish (Kecemasan), Abandonment (Ketelantaran), dan Despair (Keputusasaan).
Karena dengan tuhan, mereka bisa menyerahkan segala permasalahan yang membuat
mereka memiliki ketiga sifat tersebut kepada dzat yang mereka rasa pemegang kendali
atas segalanya, meskipun kebanyakan dari mereka bahkan menciptakan tuhan mereka
sendiri, tapi dengan begitu mereka memiliki sesuatu yang disebut maha segalanya.
Begitu juga dengan salah satu alasan kedatangan Nabi Besar Muhammad SAW. Bagi
banyak orang, kedatangannya bersama Islam memunculkan rasa tenang dan lega.
Berbekal ideologi dan pedoman pelaksanaan hidup, doktrin Agama Islam menjadi cukup
kuat sehingga mampu menghilangkan ketakutan (Fear) dan kecemasan (Anxiety)
kepada banyak hati manusia. Namun, fase-fase keagamaan itu tidak begitu lama
bertahta, terutama sejak akal menyerang jiwa.
Berkembangnya kecerdasan berpikir ditambah evolusi metode berpikir manusia
membuat manusia mencapai fase mauvaise foi (Keyakinan yang buruk), karena berbagai
macam ketakutan dan kecemasan bahkan beribu-ribu pertanyaan yang sebelumnya
hanya mengawang-ngawang, akhirnya terjawab dengan lahirnya ilmu pengetahuan.
Pada awal kemunculannya, agama hadir untuk mengatasi hal-hal yang tidak dapat
diketahui manusia; takut, cemas, putus asa, dan lain sebagainya. Namun, seiring
berkembangnya pengetahuan, secara perlahan membuat berbagai macam
ketidaktahuan manusia mulai hilang dan memutuskan untuk berubah haluan sehingga
manusia mulai berhasil menemukan segala ketidaktahuan mereka dan berani
meninggalkan doktrin agama yang selama ini mengutuk mereka.
Sama juga ketika Galileo Galilei meletakkan dasar-dasar metode ilmiah, terjadilah konflik
dengan pengetahuan keagamaan. Latar belakangnya adalah karena semuanya merasa
hanya ada satu jalan untuk mengetahui sesuatu. Akibat dari pandangan seperti itu,
adalah diterimanya pandangan yang pasti tentang ilmu pengetahuan, yaitu satu-satunya
pengetahuan hanya mengenai gejala yang bisa ditangkap dengan panca indera atau alat
bantunya. Dengan kata lain, apa yang benar bagi pengetahuan ilmiah tentang gejala,
seharusnya apa yang berlaku bagi satu sektor pengetahuan untuk selanjutnya berlaku bagi pengetahuan secara keseluruhan, secara universal. Sikap ini berkembang menjadi
begitu ekstrem sehingga membantah setiap realitas yang tidak dapat diketahui secara
eksperimental. Berkat perkembangan teknik alat penginderaan, yang membawa manfaat
praktis pada kehidupan, maka pengetahuan eksperimental ini berkembang menjadi
kepentingan umum.
Sejak awal penciptaannya, manusia sudah dikutuk menjadi bebas. Namun,
kekosonganlah yang menjadi motivasi terbesar manusia dalam bertindak dan mencari
penyelesaian. setelah berkembangnya pemikiran mereka, keyakinan yang semakin
memudar, dan kekosongan membuat mereka terus mencari, sehingga mereka mulai
berhenti memuja perkara yang tak terlihat dan mencoba membuktikan segalanya dengan
ilmu pengetahuan. Agama-agama sebagaimana disebutkan sebelumnya, akhirnya mulai
ditinggalkan. Sampai-sampai muncul sebuah indikasi bahwa agamawan adalah
seseorang yang tidak mampu memecahkan ketidaktahuan mereka dan menyerahkannya
pada tuhan, kasarnya bodoh. Namun indikasi tersebut tidak sepenuhnya benar, sejak
munculnya sebuah agama yang bersamaan dengannya risalah keilmuan.
KOMPLEKSITAS MAYORITAS
Dengan membawa risalah dalam ilmu pengetahuan, Islam membangun umat dan agama
intelektual demi terpenuhinya keinginan tak terbatas manusia, untuk setidaknya
menempatkan segala macam ilmu pengetahuan ke dalam koridor pengetahuan agama.
Bahkan risalah keilmuan itu telah datang sejak Agama Islam itu sendiri turun ke muka
bumi. Iqro’ (bacalah!) menjadi lafadz pertama yang diajarkan Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad sebagai bentuk perintah untuk mengetahui sesuatu. Disampaikannya
sebagai perintah pertama menjadi indikator urgensi dari esensi kata iqro’ (bacalah) yaitu
menuntut ilmu.
Namun, Umat Islam di hari ini justru terjebak di dalam Majority Complex, dan tanpa henti
sibuk dengan perdebatan Fiqh Ikhtilaf yang cenderung berputar-putar, bolak-balik, Tarik-ulur, dan tak kunjung selesai. Ketika seorang ilmuwan semakin cerdas dan semakin asing
dengan sebuah agama di saat yang bersamaan seorang agamawan terlalu sibuk
memecahkan masalah praktis internal dan terkurung dalam pedoman dogmatis. Di
samping itu agamawan hari ini juga cenderung lebih mengutamakan kuantitas penganut
yang diperintah untuk sekadar tunduk pada pedoman dogmatis tanpa boleh
mempertanyakan apapun daripada kualitas setiap individu penganut. Mereka malah
mementingkan bagaimana agar terus berkembang biak dan menghasilkan keturunan,
lebih mengindahkan bagaimana agar mereka tetap menjadi mayoritas, bagaimana agar
jumlah data Pemeluk Islam semakin banyak.
Sedangkan pada masa awal perkembangan agama khususnya Agama Islam, itu
dibangun oleh ilmuwan-ilmuwan cerdas yang tidak memisahkan diri mereka dari doktrin
agama, namun mereka tidak sekadar menelan bulat-bulat doktrin itu, mereka mengkaji
dengan kajian yang utuh dan terstruktur demi mencapai sebuah jawaban. Kita mengenal
Ibnu Sina (Avicenna) yang menemukan sistem pengobatan holistic, di mana faktor fisik
dan psikologis, obat-obatan, dan diet digabungkan dalam merawat pasien.
Mengembangkan Ilmu Kedokteran yang masih dijadikan pedoman kedokteran sampai
sekarang yaitu Kitab The Canon of Medicine (Al-Qanun fit Tib) yang manuskripnya
sekarang hanya tersisa satu yang dirumorkan dipegang satu universitas masyhur di
Eropa. Ada juga Al-Khawarizmi penemu Hukum Algoritma, yakni penyelesaian berlanjut
atau lanjutan yang dapat menemukan atau memecahkan masalah baru setelah suatu
masalah diselesaikan, yang pada perkembangannya, kita dapat menemukannya saat
kita membuka media sosial dan melakukan pencaharian terhadap sesuatu, maka pada
kesempatan lainnya kita akan langsung diperlihatkan dengan hal-hal yang telah kita cari
sebelumnya. Dan masih banyak lagi Ilmuwan Agamawan yang ikut membangun
Peradaban Islam, mulai dari Filsafat sampai Adat.
Namun, hari ini Ilmu Pengetahuan dan Agama justru saling memisahkan diri dan bahkan
saling mengkafirkan. Baik Agama Islam, Agama Samawi yang diselewengkan, maupun
agama buatan manusia lainnya. Atau jika tidakpun, para Ilmuwan yang tetap memasang
predikat agama, hanya menggunakannya dengan alasan-alasan yang tidak begitu
berarti.
KEPUASAN
Mayoritas Islam yang sekarang menguasai Indonesia, karena ideologi tidak langsung
mereka yang mengutamakan kuantitas daripada kualitas menyebabkan mereka merasa
puas terhadap eksistensi mereka. Mereka yang nyaman hidup dalam rumpun satu agama
tidak merasakan hal yang secara tidak langsung mereka bebankan yaitu
ketidaknyamanan minoritas. Ketika mereka terus menggaungkan perikemanusiaan
dalam islam, tapi yang mereka laksanakan justru pseudo-kemanusiaan yang terjadi
secara tidak sadar. Hal ini juga terjadi di Negara India, di saat mayoritas Hindu
memegang kekuasaan secara natural mereka melakukan Kolusi dan Nepotisme kepada
sesama Hindu dan menekan kaum Muslim dan Kristiani yang menjadi minoritas.
Pada saat yang bersamaan, mereka yang berada di puncak mispersepsi tentang
pemahaman bahwa menjadi mayoritas adalah kekuasaan. Padahal perasaan itu hanya
sekadar kepuasan manusia belaka untuk memenuhi Abandonment (Ketelantaran)
sebagai naturalisme manusia. Sedangkan yang seharusnya dilakukan untuk mencapai
kekuasaan adalah dengan agama moderat, islam moderat. Agama yang ditengahi oleh
kualitas keagamaan dan intelektual.
KEKUASAAN
Pemenuhan keinginan kekuasaan tidak mungkin terpenuhi hanya oleh peningkatan
kuantitas semata, bahkan setelah meningkatkan kualitaspun belum tentu bisa mencapai
derajat kuasa, karena untuk sampai kekuasaan harus ada aspek yang dipersaingkan,
karena jika peningkatan intelektualitas hanya pada sektor keagamaan atau Keislaman,
maka tidak ada sisi yang membuat Islam bisa dipersaingkan dengan yang lain, karena
syarat persaingan adalah kesamaan objek yang dipersaingkan, maka hendaknya Islam
meningkatkan kualitas agamawan khususnya intelektualitas secara umum, dengan
seimbang mengajarkan dasar ketauhidan dan sains atau sosial. Dengan begitu islam
akan berkembang dan bertahan di dunia kenerakaan ini.
Maka pada intinya, yang perlu dilakukan Umat Islam di hari ini adalah memfokuskan
peningkatan kualitas bukan kuantitas, juga bukan sekadar kualitas keislaman, namun
juga kualitas intelektualitas di bidang sains dan teknologi atau sosial dan humaniora.
Dengan begitu Islam baru secara perlahan akan mencapai titik kekuasaan, bukan
sekadar titik kepuasan. Lebih tepatnya, menarik kembali tali emas peradaban kejayaan
Islam yang sempat ditelan waktu.
Daftar Pustaka
Buku:
Khusna, Nurul. 2017. Jean-Paul Sartre Filsuf Eksistensialisme Imajinatif. Jogjakarta:
Sociality.
Al-Qasim, Dr. Khalid bin Abdullah, Dr. Ibrahim bin Ahmad Ar-Ris, Dr. Ahmad bin Utsman
Al-Mazid, Dr. Idris bin Hamid Muhammad, dan Dr. Ali bin Abdullah Ash-Shayyah.
2011. Pengantar Studi Peradaban Islam. Jakarta: Al-Sofwah.
Sutanto, Jusuf. 2006. Spiritual Wisdom, Belajar Mengatur Kehidupan dari Penggembala
Kuda. Jakarta: Hikmah.
Internet
Pamungkas, Tri Kurniawan. 2016. Homo Religiosus dan Mercia Eliade. Diperoleh pada
17 Oktober 2021. http://lsfcogito.org/homo-religiosus-dan-mircea-eliade/
Komentar